PERTUKARAN
Seperti
biasa, orang kampung akan sibuk mempersiapkan acara pernikahan. Apalagi jika
acara pernikahan itu tiga hati lagi. Mulai dari kesibukan memasang tarub,
mempersiapkan emper-emper, tempat
bebasok, dan lain-lain.
Pagi
itu tampak Aldi yang sangat berbahagia. Tergambar jelas dari senyumnya yang
begitu sumbringah. Giginya yang menguning karena nikotin pun turut hadir dari
senyuman itu. Pasalnya besok Aldi akan menikah dengan Cita. Gadis yang
dipacarinya sejak empat tahun lalu saat awal ia melanjutkan pendidikan di salah
satu perguruan tinggi yang ada di kota.
Aldi
yang hanya memiliki wajah pas-pasan, berambut ikal, mata sipit namun bukan
keturunan tionghoa itu bisa mendapatkan calon istri yang cantik jelita. Entah
mantra apa yang digunakannya untuk mendapatkan gadis bernama Cita itu. Gadis yang
berkulit putih seperti amoy Singkawang, bertubuh semok, berwajah menawan serta
pintar itu mau menerima Aldi.
Aldi
tampak tak sabar menunggu hari pernikahannya. Duduk dia di kursi sambil
tersenyum sendiri. Seperti orang gila saja dia senyum sendiri. Mungkin ia
sedang membayangkan kebahagiaan yang akan didapatnya. Setelah sekian lama ia
menjalin hubungan dengan Cita. Akhirnya mereka akan menjadi pasangan yang
halal.
Tak
lama, terdengar suara ponsel Aldi. Berdering dengan sangat nyaring. Nyaring
hingga terdengar oleh orang-orang yang sedang membangun tarub.
“iya
sayang, ada apa?” sahut Aldi ketika menjawab telpon tersebut.
“boleh
kita bertemu sore ini di Taman Njulong? anggap saja kebersamaan kita untuk
terkahir kalinya.” Jawab Cita.
“boleh
saja sayang, sampai bertemu nanti sore” jawab aldi sambil mematikan panggilan
dari Cita tersebut.
Setelah
perbincangan tersebut selesai Aldi bingung. Apa yang dimaksud oleh kekasihnya
itu sebagai kebersamaan untuk terkahir itu. Ah, mungkin saja karena tidak lama
lagi status mereka bukan lagi sebagai sepasang kekasih. Tentu saja, karena tiga
hari lagi mereka akan resmi menjadi pasangan suami istri.
***
Tak
sabar Aldi menanti waktu bertemu dengan Cita. Karena Aldi sangat tidak tahan
jikalau sedetik pun tidak bersama Cita. Hal tersebut yang meyakinkan Aldi untuk
menjadikan Cita sebagai yang terakhir baginya.
Empat
tahun menjalin kasih dengan Cita. Tiap hari pula mereka bertemu. Mungkin bagi
segelintir orang itu disebut kemaro’an.
Kenapa tidak. Siapa yang tahan dalam waktu selama itu setiap hari bertemu. Apa
tidak bosan? Ya begitulah mereka. Tak bisa kalau sedetik saja tidak bersama.
Namun, karena itu semua mereka sangat mengenal dengan baik pasangannya.
Aldi
berkemas dan bersiap untuk berangkat ke tempat yang sudah dijanjikan. Taman
Njulong. Taman yang menjadi tempat Aldi dan Cita biasa menghabiskan waktu
bersama. Bersama-sama menikamti senja. Kebetulan mereka berdua sama-sama
menyukai senja.
“Nak
ke mane kau di?” teriak Emak Aldi dari dalam rumah
“Nak
ke Taman Njulong mak” sahut Aldi
“Nak
ngape agek kau ke sinun, cobelah bantok urang o bekamas tok kan nikahan mu”
pinta Emak Aldi
Belum
selesai Emak berbicara Aldi sudah menghilang. Dengan cepat ia memacu kuda
besinya untuk segera bertemu dengan pujaan hatinya. Ya, seperti yang kau tahu.
Aldi tak tahan jika sedetik saja tidak bertemu dengan Cita. Maka dari itu ia
sangat bersemangat untuk pergi menemui Cita.
Sepanjang
perjalanan Aldi mengingat masa-masa mereka berpacaran. Mulai dari tempat makan
yang biasa mereka kunjungi sampai ke tempat biasa mereka menikmati cahaya
bulan. Bulan bulat penuh yang menjadi kesukaan mereka. Apalagi ketika langit
cerah tak berawan. Maka mereka akan berbaring sembari menikmati cahaya
rembulan. Ah, sungguh hal yang manis.
Sampailah
Aldi di Taman Njulong. Dengan apik ia memakirkan kuda besi yang berwarna merah
padam itu di pinggir jalan. Kuda besi yang selama empat tahun ini
ditungganginya bersama Cita. Ya, bersama Cita.
Sudah
berdiri di sana wanita dengan menggunakan baju reglan jingga hitam. Aldi tahu
persis siapa wanita itu. Baju itu merupakan baju pemberian Aldi, karena Cita
sangat menginginkan baju tersebut.
Tanpa
basa basi. Bergerak secepat kilat. Aldi langsung memeluk erat Cita dari
belakang. Memeluk karena rindunya kepada Cita. Aldi pun berbisik lirih kepada
cita.
“Aku
rindu...” bisik Aldi pelan namun jelas di telinga Cita.
Namun
tidak sepatah kata pun keluar dari Cita. Apakah Cita sedang menikmati momen
itu? Atau mungkin Aldi telah salah orang? Perlahan aldi melepas dekapannya dari
Cita dan membalik tubuh Cita untuk melihat dengan pasti paras cantik Cita.
Setelah
tampak wajah Cita, Aldi sontak terkejut. Bagai gemuruh yang menggelegar
kencang. Yang terlihat mata Cita berkaca-kaca. Linangan air mata itu sungguh
membuat Aldi terkejut. Apa penyebabnya hingga ada air mata itu? Apakah Cita
sedang sedih? Sedih kenapa dia?
“Kenapa
kau bersedih sayang?” tanya Aldi penasaran
Namun
Cita hanya diam seribu bahasa. Sembari menutupi wajah cantiknya dengan
menggunakan kedua belah telapak tangannya yang lembut dan halus itu.
“Katakan
padaku, apa yang terjadi? Mengapa engkau menangis?” tanya Aldi
Tetap
saja Cita hanya berdiam diri. Tak lama Aldi kembali mnendekap erat Cita untuk
menenangkannya yang bersedih. Karena Aldi tak tahu pasti apa yang menyebabkan
Cita bersedih. Bukankah mereka akan segera menikah. Lantas kenapa Cita
bersedih. Bukankah seharusnya mereka berbahagia?
Cita pun segera melepas
dekapan erat Aldi. Dan segera memberitahukan penyebab kesedihannya itu.
“Maafkan aku sayang”
Cita berbicara dengan suara lirih dan tersedu
“Maaf untuk apa? Ada
apa ini? Mengapa engkau bersedih. Jelaskan padaku...” desak Aldi pada Cita.
“Maaf karena aku telah
jatuh cinta pada pria lain. Pria yang menjadi teman sewaktu aku SMP dulu. Dan
aku sekarang sungguh mencintainya” jawab Cita.
Aldi hanya terdiam tak
dapat berkata sepatah kata pun.
“Sekali lagi maaf, aku tak bisa melanjutkan
hubungan kita ini hingga ke jenjang pernikahan. sampaikan maaf ku kepada
keluarga besar mu.” Pinta Cita kepada Aldi.
Hanya kata maaf yang
terucap dari mulut manis Cita. Aldi pun tak dapat berbuat banyak. Namun apa
yang harus dikatakannya pada keluarga besar dan bagaimana dengan seribu lebih
undangan yang telah disebar. Apa kata orang kampungnya nanti jika tahu
pernikahannya batal karena kekasih hatinya jatuh cinta pada teman sekolahnya
dulu.
Cita pun akhirnya
memberika pelukan terakhir kepada Aldi sebelum akhirnya meninggalkan Aldi
sendiri di Taman Njulong. Aldi hanya bisa diam. Diam seribu bahasa. Mulutnya
tak mampu lagi berkata. Hanya rasa sedih yang dirasakannya. Tak mampu berkata
dan tak mampu pula melakukan apapun.
***
Duduk
sendiri Aldi di bangku taman. Duduk terdiam melihat matahari yang mulai
terbenam. Matahari yang menjadi saksi kisah cinta Aldi empat tahun terakhir.
Kini matahari itu pula yang menjadi saksi bisu kejadian sore itu. Kejadian yang
sangat memilukan dan menyayat hati Aldi.
“Apa
yang harus ku katakan pada Emak, pada orang kampung, pada teman-teman dan
orang-orang yang telah ku undang untuk menghadiri pesta pernikahan ku” keluh
Aldi dalam hatinya.
Allahu
akbar, Allahu akbar
Terdengar
suara adzan maghrib. Tapi Aldi tak kunjung beranjak dari kursi taman. Dia takut
untuk pulang dan mengabarkan pada orang rumah tentang yang terjadi pada sore
itu.
Tak
lama hawa dingin mulai terasa. Padahal saat itu langit masih belum gelap. Bahkan
rona warna senja juga masih ada. Tapi kenapa udara tiba-tiba terasa dingin.
Tiba-tiba seperti ada angin yang lewat dengan cepat dan berhenti di dekat Aldi.
Hahahaha
Terdengar
suara tertawa. Suara siapa itu. Aldi melihat sekelilingnya. Namun tidak ada siapa
pun. Ah, peduli setan dengan suara tawa itu.
“Hay
kau cucu Adam. Dasar kau bodoh. Hanya karena masalah kecil kau bersedih bukan
main” terdengar suara yang entah siapa orangnya
“Siapa
kau? Berani-beraninya mengatakan ku bodoh.” Sahut Aldi dengan nada kesal
“Kau
tak perlu tahu siapa aku, tak sepantasnya kau seperti ini hanya karena masalah
sepele” sahut suara yang masih belum diketahui suara siapa itu.
Aldi
pun semakin kesal karena suara itu terdengar namun ia tak mengetahui siapa yang
berbicara.
“Siapa
sebenarnya kau ini. Mengapa engkau tahu tentang masalah yang aku hadapi? Bahkan
sampai berani-beraninya menceramahiku” ketus Aldi
“Sudah
ku katakan. Kau tak perlu tahu siapa aku. Aku hanya mengajukan pertukaran
dengan mu. Karna kau malu utnuk mengatakan tentang kejadian ini dengan
keluargamu. Aku akan memberikan jalan keluar. Aku akan membantu mu. Namun
dengan satu syarat” jawab suara itu.
Aldi
semakin bingung. Apa yang sebenarnya dimaksud oleh suara itu, dan juga
pertukaran apa yang dimaksudkan oleh suara itu. Aldi semakin tak paham dengan
perkataannya. Ditambah diberikan syarat pula. Semakin bingunglah Aldi.
“Apa
yang kau mau dari ku? Pertukaran apa itu? Aku tidak punya apa-apa yang dapat
kutukarkan padamu” jawab Aldi
“Tak
banyak yang ku inginkan darimu. Aku hanya ingin kau memberi tahukan bagaimana
caranya agar aku bisa mendekatkan diriku pada tuhan. Balasannya aku akan
mengabulkan apapun yang kau pinta” jawab suara yang tak diketahui suara siapa
itu
“Apakah
kau yakin bahwa kau dapat memenuhi semua apa yang ku pinta?”
“Benar...
cukup kau ajarkan saja aku cara mendekatkan diri dengan tuhan”
Tanpa
pikir panjang. Aldi pun langsung menerima tawaran dari suara itu. Meski tidak
mengetahui bagaimana rupa dari suara yang berbicara itu.
***
Setelah
Aldi memberitahukan semua yang ia ketahui tentang “Tata Cara Mendekatkan Diri
kepada Tuhan”, kini saatnya bagi suara tersebut untuk menuruti semua keinginan
Aldi.
“Wahai
kau suara yang tak ku ketahui siapa. Sudah ku beritahukan padamu semua yang ku
ketahui. Sekarang giliran mu pula” teriak Aldi
“Baiklah.
Katakanlah padaku. Apa yang kau pinta? Semua keinginanmu pasti akan kukabulkan”
“Hanya
satu yang ku pinta. Buat semua ingatanku hilang. Aku tak mau lagi merasa sedih,
merasa kesal dan kecewa. Jadi tolong hapuslah semua ingatanku. Tentangnya dan
dirinya.” pinta Aldi sambil menitikkan air matanya.
Secara
tiba-tiba suara menjadi sunyi, sepi, dan hening. Tak ada suara apapun yang
terdengar. Bahkan suara gemericik air sekecil apapun tidak terdengar. Seketika
itu pula Aldi baring tak berdaya karena kehabisan nafas.
***
Terdengar
sirine yang masuk ke dalam halaman rumah Aldi.
“Apa
yang terjadi?” tanya emak yang sangat penasaran dan bingung.
Semua
hanya bisa diam. Aldi telah pulang. Pulang dan tak akan pernah kembali lagi.
Aldi yang selalu tampak sehat, tidak pernah mengeluh sakit kini ia terbujur
kaku. Entah apa yang terjadi padanya.
Polisi
menyarankan emak untuk melakukan autopsi kepada anaknya. Tapi emak dengan sigap
menolak. Karena emak tahu, kalau diautopsi maka akan keluar banyak biaya. Kalau
pun diautopsi tentu nyawa Aldi tak akan kembali.
“Sudahlah.
bagus panggil saja arwahnya. Kita pakai cara mediumisasi arwah. Biar kita tahu
langsung dari arwah Aldi apa yang menyebabkan kematiannya.” Kata suara
seseorang yang berasal dari kerumunan.
Tidak
disangka. Ternyata Abah ada di sana. Abah adalah seorang yang sakti mandraguna.
Dia dapat menyembuhkan orang sakit. Meski dokter menyerah untuk mengobati
penyakitnya.
“Apakah
bisa bah kita lakukan hal seperti itu?” tanya emak kepada abah
“Tentu
bisa. Karena Arwah seseorang masih akan tetap ada hingga tujuh hari
kematiannya.”
“Jika
memang seperti itu. Mari segera kita lakukan bah. Agar kita tahu pasti penyebab
kematiannya” pinta emak yang penasaran dengan kematian anaknya.
“Baiklah.
Sekarang siapkan saja 1 orang mediator untuk kita masukkan arwah Aldi ke dalam
tubuhnya” pinta Abah
“Biar
aku saja mak” teriak Tole yang merupakan teman akrab Aldi sedari kecil.
***
Tanpa
banyak membuang waktu. Abah pun mulai melakukan mediumisasi. Dengan Tole yang
duduk bersiap di masuki arwah sahabatnya itu. Komat-kamit mulut abah. Terdengar
pelan nama Aldi bin Ismani yang diucapkan oleh Abah. Tidak butuh waktu lama.
Angin yang awalnya tidak ada tiba-tiba bergerak menuju Tole yang sedang duduk.
Seketika itu juga Tole yang awalnya duduk bersila langsung berubah posisi
berjongkok. Seperti orang ketakutan. Tak hanya ketakutan. Dia juga seperti
kebingungan. Mengapa Aldi seperti itu.
“Assalamualaikum.
Benar saya bicara dengan Aldi?” tanya Abah pelan untuk meyakinkan bahwa itu
benar Aldi.
“Ya.
Aku aldi.”
Tak
lama terlihat wajah emak. Tanpa pikir panjang Tole yang dirasuki oleh arwah
Aldi langsung memeluk erat emak.
“Apa
yang terjadi padamu nak?”
“Aku
juga tidak tahu mak”
“Apa
yang kau lakukan di Taman Njulong tempat mereka menemukan mayatmu”
Aldi
pun sedikit teringat dengan kejadian itu. Namun masih samar. Aldi pun
menceritakan apa yang bisa diceritakan kepada emaknya.
“Lalu
mengapa kau bisa meninggal nak?”
“Setelah
aku meminta semua ingatanku tentang Cita di hapus. Aku lupa cara bernafas mak.
Mungkin ikut terhapus karena dulu pernah ku katakan bahwa Cita adalah nafasku,
hidupku, dan matiku. Dan cita adalah semangat hidupku” jawab Aldi.
Semua
tertegun diam, termasuk emak. Apa benar Aldi meninggal karena lupa cara
bernafas.