Kamis, 21 Maret 2019

MUJUR


Mujur
Jangan berada terlalu dekat dengannya, nanti kau bisa muntah. Mujur namanya, namun dipanggil Jur oleh orang kampungnya. Meski lebih muda darinya. Bertahan hidup dari sisa makanan. Entah itu sisa dari konglomerat yang bakal melarat, atau mungkin dari Tikus dan Buaya yang ikut makan di sana. Meski makanan sisa. Namun tubuhnya tetap sehat.
Mujur tinggal di rumah sempit yang sudah singgit. Matahari selalu mengintip kegiatannya saat berada dalam rumah. Tak satupun yang memerhatikan istana Mujur. Istana yang sungguh mewah baginya. Istana berwarna putih. Seperti warna kain kafan yang sudah berumur. Namun itulah istana Mujur nan megah dan nyaman.
Mujur memiliki saudara yang sangat kaya. Ringgo namanya. Berkat liur dan gelarnya ia bergelimang harta. Kerjaannya hanya membuang liur. Namun entah mengapa orang sangat menyenangi liurnya. Liurnya membuat orang terkagum-kagum. Sesekali Mujur ikut jejak Ringgo yang membuang liur. Alhasil Mujur balik di ludah dan dicaci. Entah karena liurnya yang bau basi atau liurnya tertular rabies. Namun Mujur selalu tak ambil hati dengan perbuatan orang lain. Ia tak perlu memakai jas hitam nan elegan yang menutupi badannya. tak perlu pula mencekik lehernya dengan kupu-kupu seperti yang biasa Ringgo pakai saat membuang liurnya.
***
10 Djulhijjah. Hari di mana Ringgo mengeluarkan uangnya untuk membeli sapi dan kambing. Dengan uang Ringgo dapat membeli apapun. Dengan sombongnya Ringgo menerbangkan dirinya di hadapan Mujur. Ringgo terus terbang dengan menunggangi seekor sapi dan seekor kambing yang ia beli.
Lihat aku. Aku dapat terbang dengan sapi dan kambing yang ku beli. Sedang kau? Bahkan tahi pun tak sudi menjadi tunggangan mu.” Ujar Ringgo kepada Mujur.
Itu diulang-ulangnya di hadapan Mujur. Dipikirannya agar Mujur menyembahnya yang sedang terbang. Namun itulah Mujur. Mujur yang tak pernah ambil hati atas perlakuan jahat padanya. Mujur terus melempar senyum. Senyuman lebar pada orang-orang yang meletakkan Mujur di bawah kaki mereka. Mujur selalu diinjak dan tak pernah marah. Bahkan pernah sampai berdarah. Sampai memiliki lubang yang besar di kepalanya. Mungkin karena sering diinjak. Hingga darah keluar dengan sangat deras, dan sulit untuk menghentikannya. Namun kembali. Mujur tak pernah ambil hati atas itu semua. Yang ia tahu hanyalah untuk tetap hidup di hari esok.

***
Tiba saatnya. Hari di mana Mujur mendapat serpihan daging. Entah daging sapi, kambing, buaya, celeng, atau tikus yang ia dapat. Namun karena dapat dari petugas mushola yang ada di dekat istananya, ia yakin bahwa daging tersebut tidak akan panas. Jika di sempalkan dalam mulutnya. Lalu ia labuhkan dalam perutnya. Serpihan daging yang ia dapat tak sebanyak serpihan yang dulu pernah ia dapat. Mungkin saja karena petugas penyembelihan di mushola adalah petugas baru. Membawa Tikus untuk sedikit mengigit serpihan jatah daging setiap orang. Tapi Mujur tidak ambil pusing.
Saat di jalan, setelah mengantre panjang mengambil serpihan daging miliknya, Mujur kembali ke istana mewah dan megah miliknya. Sesampainya di rumah, ia mengolah serpihan daging tersebut menjadi masakan yang sangat enak. Mujur berencana membagikan serpihan daging tersebut kepada anak-anak jalanan yang tak memiliki istana. Bahkan induk pun mereka tak punya. Bagai pohon pinang yang hanya berdiri sendiri dan tak memiliki dahan sebagai temannya.
Masakan mewah ala keistanaan Mujur pun telah siap. Seluruh anak-anak di sekitaran istananya pun di serunya untuk hadir ke istana Mujur.
Semua anak-anak silakan datang ke istanaku. Kan ku sempal mulut kalian dengan daging, bila perlu daging ku yang ku sempal ke mulut kalian. Agar tubuh kalian tidak hanya tulang. Namun juga berisikan daging” begitu seru si Mujur.
Tak lama setelah memberitahukan tentang ajakan makan bagi anak-anak jalanan, mereka mulai memenuhi halaman istana Mujur. Istana yang banyak dilalui orang berlalu lalang.
Senang hatinya. Hati mujur serta hati anak-anak itu. Tak biasanya mereka makan daging. Namun di hari itu, mujur nasib mereka. Dapat merasakan daging qurban yang telah didapat dari petugas mushola. Ya, daging yang sebelumnya diberikan pada Mujur. Tampak senyum lebar dari Mujur. Senyum karena dapat berbagi dengan mereka. Mereka yang tak memiliki rumah. Jika tak di ajak Mujur, ke mana mereka akan merayakan Idul Adha. Mereka sangat menghargai pemberian Mujur.
Tak sampai satu jam. Lauk yang disediakan oleh Mujur habis. Lengis. Tak bersisa. Bahkan sejemput. Mujur sendiri tak mendapat bagian. Meski demikian, ia tetap senang. Dapat berbagi meski dengan alakadar. Namun masih saja. Banyak yang tidak menyukai Mujur. Entah apa salahnya hingga sangat dibenci. Padahal ia bukan teroris, koruptor, bahkan penghancur rumah tangga orang. Bukanlah itu tipikal Mujur. Tapi kenapa masih saja ada yang benci kepadanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar